Mencicip kopi asli Karawang

13.59

Pernahkah teman-teman sekalian mencicip, merasakan dan menikmati kopi asli Karawang. Kami tak heran jika ada pecinta kopi dan dia berasal dari Karawang tapi belum pernah menikmati karena belum tahu bahwa sungguh-sungguh ada kopi asli Karawang. Seandainya ada, keberadaannya belum luas diakui. Ini karena memang kopi Karawang belum diurus sungguh-sungguh sih oleh siapa pun mereka. Malah justru masih lebih banyak diusung dan diakui sebagai kopi Bogor.

Kopi yang diurus dengan baik dan “diangkat” identitas serta karakter citarasanya ternyata dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri suatu kelompok masyarakat setempat. Sekali pun ini sudah merupakan praktik jamak tapi toh juga belum meluas diperjuangkan. Ini karena kopi memang merupakan hasil kerja sama manusia dengan alam di mana kopi membuka dan menerima semua pengaruh yang diberikan oleh alam kepada kopi. Maksudnya, citarasa kopi sangat terpengaruh oleh kondisi alam setempat. Sehingga apa yang muncul sebagai citarasa dari kopi tertentu yang sedang Anda nikmati kiranya sangat erat terkait dengan suatu keaslian yang menjadi bagian menyatu dari alam setempat. Tapi itu hanya dapat dicapai jika manusia bersedia rendah hati bekerja (ber)sama dengan alam.

Melatih fungsi hidung dan lidah dengan melakukan uji rasa kopi robusta Sanggabuana bersama dengan para petani kopi dari desa Medalsari, Tegalwaru, Karawang
Nah, begitulah, dengan bekal mau mencicip keaslian rasa kopi Karawang inilah kami berkunjung ke komunitas petani kopi di desa Medalsari, kecamatan Tegalwaru, desa yang terletak di posisi paling selatan kabupaten Karawang. Jaraknya sekitar 50km dari kota Karawang. Kalau lancar mungkin bisa ditempuh dalam waktu sekitar dua jam.

Dan pada akhirnya kami bisa benar-benar mencicip kopi asli dari Karawang. Ada yang istimewa dari kegiatan berziarah dalam pencarian kopi ini (coffee trip) karena kami cicip kopi robusta dari lereng gunung Sanggabuana ini bersama dengan para petani kopi itu sendiri di halaman rumah kang Adang di desa Medalsari, kecamatan Tegalwaru, 6/3/2016.

Tak seperti biasanya sebelum mencicip kopi, kali ini kami mengajak para petani kopi untuk menyangrai biji-biji kopi yang berasal dari kebun-kebun mereka sendiri. Karena hanya kopi yang segar atau belum lama disangrai akan lebih mudah dapat dicerap keaslian citarasanya. Tanpa mencampurkannya dengan apa pun yang lain, tak terkecuali juga gula. Di samping itu, kebiasaan menyangrai sendiri kopi dari kebun sendiri di antara para petani kopi sudah lama tak jadi trend of the day. Menyangrai secara sederhana tapi diperbarui rupanya perlu dikembangkan lagi. Menyangrai secara tradisional tampaknya sudah jadi memberatkan anak-anak muda desa. Yang tua pun sudah menyerah.  

Belajar lagi menyangrai kopi bersama dengan para petani kopi yang sudah lama tak lagi ingat bagaimana cara menyangrai kopi tapi kini dengan alat sangrai manual yang handal, lebih mudah dipakai dan harga terjangkau
Kopi biji mentah (greenbeans) kami dapatkan dari sahibul bait yaitu kang Adang sendiri. Dia mengaku bahwa kopi biji sudah disimpannya selama empat tahun. Aroma biji mentahnya masih lumayan, meski tak harum lagi. Tetapi kemudian beberapa petani lain juga menawarkan kopi-kopi biji dari panen 2015 yang masih mereka simpan agar kami sangrai karena ternyata mereka juga ingin mencicip rasa biji kopi dari kebun mereka sendiri. Di situlah dugaan kami tak jauh keliru, bahwa ternyata mereka sudah lama tidak lagi menyangrai kopi.

Para petani kopi ini mengakui bahwa selama ini mengonsumsi kopi sobek yang sudah merata jadi kebiasaan karena terdistribusi sampai di pelosok-pelosok desa. Ketika setiap hari mereka bekerja menempuh perjalanan menuju kebun-kebun kopi yang jaraknya tak dekat, mereka pun berbekal rentengan kopi sobek karena kepraktisannya. Seolah-olah mereka tak ingat lagi bahwa mereka masih punya simpanan kopi biji hijau. Seolah-olah mereka lupa bahwa diri mereka adalah petani kopi yang bisa mengolah sajian kopi sendiri yang rasanya jauh lebih memuaskan dan menggairahkan.

Tanda kesuburan lahan di kawasan ekosistem Sanggabuana terlihat dengan masih munculnya sisa-sisa bunga kopi robusta yang bersemi sampai bulan Maret sementara buah-buah kopi sudah setengah matang
Begitulah nasib para petani kopi kita, ketika kurang terdampingi, mereka berada dalam keadaan kesulitan dari berbagai aspek bahkan untuk menghargai hasil kerja mereka sendiri, di samping terus-menerus dihantui oleh kondisi yang mereka tengarai sebagai “tak punya uang” dan beban keluarga, yang serta-merta mereka pandang sebagai kemiskinan. Padahal kebun garapan mereka relatif masih tersedia, meski tak luas dan kepastiannya belum ada. Padahal bahan dasar hasil budidaya kopi dari kebun sesungguhnya juga sangat potensial menjadi bermutu pada konteks komoditi pertanian yang sesuai. Padahal kebersamaan para petani kopi itu juga masih sangat kental berasa dan potensial jadi modal untuk membangun bersama-sama. Tapi semua itu kini bagaikan terkubur di bawah alam sadar yang dikuasai oleh tuntutan pasar semu yang terus merangsek sampai ke pelosok paling udik di kawasan pedesaan republik kita ini.

Lalu apa citarasa kopi robusta Karawang? Wah ini dia pertanyaan bagus yang jawaban menyeluruhnya masih dalam proses kami teliti, kami cari, dan berharap nanti kita temukan bersama-sama, mulai dari peran mengidentifikasi karakter kopi Karawang oleh para petani kopi, para pendamping mereka, dan siapa pun yang mencicip kopi dari kawasan ini, tentunya Anda sekalian warga Karawang. Lidah dan hidung Anda adalah sarana untuk mencium, membaui, mencicip dan mencecap sehingga budi mampu mencerap rahasia citarasa kopi dari salah satu ekosistem gunung Sanggabuana di Jawa Barat bagian utara.

Ada sebagian yang tersingkap tapi sekaligus menantang pekerjaan lanjutan. Cerapan cepat dari uji rasa kopi robusta Sanggabuana-Medalsari ini dominan dengan keharuman kafein, terdapat pula citarasa coklat. Masih peru diuji lagi dan lagi, terutama nanti setelah panen bulan Juli-Agustus 2016 ini. Dan, terkait dengan karakter sangrai kopi Sanggabuana, sejauh kami coba kopi yang berasal dari kebun pak Adang berketinggian sekitar 500mdpl di sekitar area Gunung Sulah, setidaknya kami tengarai sebagai lebih “lunak” daripada kopi robusta dari Jember Rengganis sebagai pembanding. Para penyangrai perlu menyadari cepat matangnya kopi robusta Sanggabuana ini, sehingga terhindar dari kemungkinan gongseng kopi terlalu gosong atau terbakar, jika diperlukan.

Tetapi yang mengherankan, para petani yang menyukai kopi justru lebih memilih profil sangrai agak gosong daripada profil sangrai medium-dark yang condong kurang berasa pahit. Para petani kopi-penyuka kopi rupanya sudah sangat terbiasa dengan kopi pahit yang menurut mereka nikmat rasanya jika ditambahkan gula pasir. Yah begitulah .. selera warga masyarakat kita pada umumnya sudah sangat dikuasai oleh komoditi kopi sobek dan komoditi gula pabrik tebu, yang telah berjalan selama berpuluh-puluh tahun, bahkan ratusan tahun sejak zaman tanam paksa semasa penjajahan kolonial di Jawa dan Nusantara ini.

Kegiatan belajar bersama mencicip kopi kemudian kami lanjutkan dengan berziarah ke kebun-kebun kopi yang mereka garap. Dari Curug Green Canyon kemudian kami naik mengarah ke hulu sungai Ciomas, salah satu anak Sungai Cibe’et yang merupakan daerah aliran sungai yang sepenuhnya berada di dalam tata ruang Karawang sebelum bermuara ke sungai besar Citarum. Ziarah kebun kopi praktis memerlukan waktu satu hari karena kami berjalan lambat sambil mengenal lebih dalam ekosistem setempat, sambil mengamati budidaya tanaman padi sawah setempat di kawasan ketinggian, yang berbeda keadaannya dibandingkan dengan kawasan hamparan luas di Karawang Pantura.
Perjalanan menuju kebun-kebun kopi di sekitar kawasan Gunung Sulah, salah satu penampakan alam berupa gunung batu dari kompleks barisan bukit-bukit menuju ke puncak Gunung Sanggabuan.
Para petani kopi sadar tentang keperluan tanaman kopi agar tetap terlindung di bawah tegakan-tegakan pohon berkayu. Para petani menanam tanaman-tanaman kayu yang lain, di antara yang menonjol diusahakan adalah pohon durian. Kecuali untuk mempertahankan pentingnya konservasi hutan, terutama mencegah erosi, tanaman-tanaman kopi bagaikan dikembalikan ke rumahnya, yaitu hutan dalam pengertian agroforestry, suatu ekosistem cocok tanam yang menciptakan iklim mikro di mana tanaman kopi merasakan kebahagiaan. Dalam kondisi ternaungi itulah tanaman kopi akan tumbuh dengan subur dan menghasilkan citarasa asli alami kecuali juga akan membuahkan volume hasil panen yang terbanyak.

Areal budidaya kopi di lereng gunung Sanggabuana memang luas untuk ukuran coffeetrip kilat yang kami lakukan. BPS mencatat di kecamatan Tegalwaru saja terdapat 165 hektar areal tanaman kopi, belum lagi jika ditambah kecamatan Pangkalan. Kami langsung menuju ke kebun-kebun kopi yang diurus oleh para petani kopi yang mengantar kami. Di situ kami temukan setidaknya terdapat tiga atau empat jenis tanaman kopi robusta. Ada yang telah mengelolanya secara lebih profesional seperti dengan cara memangkas ranting-ranting tak produktif (pruning) tetapi tak sedikit pun pula yang membiarkan tanaman kopi sehingga nyaris jadi semak belukar. Adanya beberapa subvarietas kopi robusta memperkaya budidaya kopi di Karawang. Mengherankan bahwa ada tanaman kopi hybrid ateng (arabika Catimor dengan robusta) yang bisa tumbuh sampai berbuah di ketinggian sekitar 400-500 mdpl padahal biasanya kopi ini dikenal tumbuh di ketinggian lebih dari 1000mdpl. Tentunya kopi ateng ini akan melengkapi keragaman jenis kopi dengan tambahan citarasa yang lebih baik.
Memulihkan lelah dengan makan bersama ala Jawa Barat di tengah-tengah kebun kopi.
Tentu variasi pengelolaan pasca-panen kopi akan sangat menentukan hasil citarasa akhir dari kopi Karawang. Kita semua boleh berharap pada para petani kopi di desa Medalsari (Pangkalan) dan Mekarbuana (Tegalwaru) agar menyediakan kopi dengan variasi olah yang memperkaya, misalnya dengan olah basah, sehingga bertambahlah penghargaan warga Karawang pada kopi asli daerahnya sendiri. Tapi kerja petani yang menuntut waktu dan tenaga ini pasti hanya mungkin terbalaskan jerih payahnya demi mutu kopi jika Anda sekalian, terutama para pecinta kopi warga Karawang, sungguh-sungguh rutin menikmatinya plus dengan cara mengurangi meminum kopi-kopi yang lain yang kurang bermutu atau bahkan merugikan kesehatan.
**   
 Oleh: Koffie Goenoeng Fairshare








You Might Also Like

0 komentar